Kini tampaknya makin banyak perusahaan yang berbondong-bondong menggunakan pegawai dengan status oursourcing (alih daya). Dan jenis pekerjaan yang di-alihdayakan juga tak lagi sebatas pekerjaan supporting semacam tenaga sekuriti, OB ataupun tenaga kurir. Kini juga makin banyak pekerjaan back office yang di-outsource-kan, seperti tugas sekretaris, staf payroll, staf accounting dan sejenisnya.

Pertimbangannya tentu saja untuk menghemat cost. Dengan menggunakan tenaga outsourcing, perusahaan tak lagi harus terbebani berbagai “employee benefit cost” yang kadang sangat mahal (bisa sama besarnya dengan gaji dasar karyawan). Sebut misalnya, biaya kesehatan pegawai atau biaya pensiunan pegawai. Jika menggunakan karyawan permanen, berbagai employee benefit cost semacam itu wajib diberikan oleh perusahaan, dan diam-diam ini bisa menggerus sumber daya finansial perusahaan. Kita masih ingat misalnya, tragedi kebangkrutan perusahaan General Motors. Salah satu sebabnya, biaya kesehatan para pensiunannya lebih besar dibanding keuntungan perusahaan. Dengan kata lain, laba perusahaan habis hanya untuk menanggung beban biaya kesehatan pegawai dan para pensiunannya. Banyak perusahaan BUMN disini yang suatu saat mungkin akan menghadapi problem serupa.

Itulah mengapa pilihan untuk merekrut tenaga outsourcing merupakan salah satu pilihan yang menarik untuk melakukan efisiensi biaya tenaga kerja. Tentu saja, banyak pihak yang protes dengan situasi semacam ini. Sebagian bahkan kemudian mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melarang atau sangat membatasi kegiatan outsourcing.

Namun barangkali kita mesti hati-hati dengan anjuran semacam itu. Sebab – harap ingat kalimat ini – sejumlah studi menunjukkan kebijakan mengenai tenaga kerja yang terlalu kaku dan rigid dalam jangka panjang justru akan merugikan ekonomi sebuah negeri. Dengan kata lain, peraturan tenaga kerja yang “terlalu” melindungi kepentingan dan hak pekerja acapkali justru menjadi bumerang bagi kemajuan ekonomi bangsa.

Contoh yang peling getir dari pernyataan diatas adalah apa yang terjadi di Perancis dan Spanyol. Di banyak negera Eropa – terutama Perancis – terdapat banyak kebijakan yang sangat memihak kepentingan pegawai (misal di Perancis untuk melakukan PHK karyawan harus melalui ijin dari Perdana Menteri !!). Kenyataannya, angka pengangguran di dua negera itu sangat tinggi. Di Perancis angka pengangguran faktual diperkirakan berada pada angka 20% — sebuah angka menyeramkan dan jauh diatas angka pengangguran di negeri ini. Begitu juga di Spanyol.

Sebabnya sederhana : peraturan tenaga kerja yang kaku dan “terlalu” membela kepentingan pekerjaa ternyata membuat banyak perusahaan takut melakukan rekrutmen dan enggan menjalankan kebijakan ekspansi bisnis. Akibatnya fatal : roda ekonomi bisnis menjadi macet.

Itulah sebabnya sejumlah ahli kebijakan ekonomi menyebut peraturan tenaga kerja yang terlalu kaku (rigid) bisa sangat menguntungkan orang yang saat ini sudah bekerja; namun bisa menjadi ancaman bagi para calon pekerja (adik-adik kita yang akan segera memasuki dunia kerja). Sebabnya ya itu tadi : peraturan tenaga kerja yang tidak fleksibel akan membuat perusahaan enggan melakukan rekrutmen dan investasi baru. Ujungnya : roda ekonomi menjadi tersendat, dan para calon pekerja baru menjadi tidak kunjung menemukan pekerjaan yang diimpikannya.

Melihat fakta diatas, maka kebijakan mengenai outsourcing mungkin akan terus berjalan, bahkan mungkin dengan laju yang kian menggeliat. Jadi harus bagaimana?

Dari sisi pekerja, fenomena outsourcing ini mungkin memang sebuah berita yang sungguh memilukan. Memilih menjadi pegawai dengan status outsourcing memang seperti menggantang masa depan pada sebuah jalan ketidak-pastian yang kelabu.

Namun sekedar menggerutu pada perusahaan atau mengomel tentang kebijakan outsourcing juga hanya buang-buang energi belaka. Sebab mengutuk keadaan hanyalah cermin dari sebuah sikap yang tak mau menerima tanggungjawab penuh akan nasib diri sendiri.

Karena itu jika ada ada diantara Anda yang kebetulan menjadi pegawai outsourcing, kenapa tidak menjalaninya saja dengan penuh ketekunan. Tentu saja sambil terus belajar, menggali pengalaman bekerja, dan senantiasa mengasah kecakapan yang relevan. Lalu suatu saat, ketika ada kesempatan pekerjaan yang lebih menjanjikan, Anda bisa dengan lebih siap bersaing untuk mendapatkannya.

Sekali lagi, pesan yang ingin terus disuarakan adalah ini : we create our own destiny. Menjadi pegawai outsourcing bukanlah sebuah petaka yang menjadi akhir segalanya. Bagi pribadi yang bermental tangguh dan selalu berpikir positif, pengalaman menjadi tenaga outsourcing mungkin justru merupakan jalan yang harus dilalui untuk menapaki kesuksesan di kemudian hari.

sumber: http://strategimanajemen.net/2010/10/04/kebijakan-outsourcing-dan-strategi-pengelolaan-sdm/